Pages

Rabu, 30 April 2014

Ajaran Tokoh Filsuf Yunani Pra Sokrates Thales, Anaximandros, Herakleitos, Parmenides, Empedocles, Demokritos, Sofisme

Thales, Anaximandros, Herakleitos, Parmenides, Empedocles, Demokritos, Sofisme
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Umum
Dosen Pengampu: Tsuwaibah, M. Ag


Di Susun Oleh:
Siti Jamiatun (134111007)

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
       I.            PENDAHULUAN
Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam. Dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati di sekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya mutlak, yang berada dibelakang segala sesuatu yang serba berubah.
Setelah pada abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tentang misteri alam semesta ini jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai suatu demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi. Upaya para ahli pikir untuk mengarahkan pada suatu kebebasan berpikir ini menyebabkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni.[1]
Ciri umum filsafat Yunani ialah rasionalisme. Rasionalisme Yunani itu mencapai puncaknya pada orang-orang sofis. Untuk melihat rasionalisme sofis perlu dipahami lebih dulu latar belakangnya. Latar belakang itu terletak pada pemikiran filsafat yang ada sebelumnya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran atau ajaran para tokoh filsafat Yunani pada masa Pra Socrates. Diantaranya meliputi: Thales (625-545 SM), Anaximandros (640-546 SM), Herakleitos (535-475 SM), Parmenides (540-475 SM), Empedocles (490-435 SM), Democritos (460-370 SM), dan Sofisme.


    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Siapa saja tokoh filsuf Yunani pada asa Pra Socrates ?
2.      Bagaimana pemikiran para tokoh filsuf Yunani pada masa Pra Socrates tentang arche (asal mula segala sesuatu)?


 III.            PEMBAHASAN
A.    Thales (625-545 SM)
Thales (624-546 SM), orang miletus itu, digelari Bapak Filsafat karena dialah orang yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaan yang amat mendasar, yang jarang diperhatikan orang, juga orang zaman sekarang: What is the nature of the world stuff ? Apa sebenarnya bahan alam semesta ini ? Tak pelak lagi, pertanyaan ini amat mendasar.
Terlepas dari apapun jawabannya, pertanyaan ini saja telah dapat mengangkat namanya menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Jawaban ini sebenarnya amat sangat sederhana dan belum  tuntas. Belum tuntas karena dari apa air itu ? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta barang kali karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung diatas air.
Lihatlah, jawabannya amat sederhana, pertanyaannya jauh lebih berbobot ketimbang  jawabannya. Masih adakah orang yang beranggapan bahwa bertanya itu tidak penting ? Thales menjadi filosof karena ia bertanya. Pertanyaan itu dijawabnya dengan menggunakan akal, bukan menggunakan agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi kehidupan. Disini akal mulai digunakan, lepas dari keyakinan.[2]
Menurut cerita, Thales adalah seorang saudagar  yang sering berlayar ke negeri Mesir. Ia menemukan ilmu ukur dari Mesir dan membawanya ke Yunani. Diceritakan pula bahwa ia memiliki ilmu tentang bagaimana mengukur tinggi piramid-piramid dari bayangannya; bagaimana mengukur jauhnya kapal dari laut dari sebuah pantai; ia juga mempunyai teori tentang banjir tahunan sungai Nil di Mesir. Bahkan ia juga berhasil meramalkan terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei tahun 585 SM. Karena itulah ia dikenal sebagai ahli astronomi dan metafisika.
Hal ini merupakan bukti bahwa perkembangan ilmiah nampaknya mulai menggantikan peranan mitos-mitos yang berkembang pada masa itu. Thales tidak menuliskan ajaran-ajaran filsafatnya. Aristhoteleslah yang merupakan sumber utama ajaran Thales. Dalam traktatnya mengenai metafisika, Aristoteles menyatakan bahwa Thales adalah orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula (asal/prinsip) terjadinya alam semesta ini.[3]

B.     Anaximander (640-546 SM)
Anaximander adalah murid Thales. Ia lima belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi meninggal dua tahun lebih dahulu. Sebagai filosof, ia lebih besar dari gurunya. Ia juga ahli astronomi, disamping itu ia juga ahli ilmu bumi. Sama halnya dengan gurunya, Anaximander juga ingin mencari asal dari segalanya. Ia tidak menerima apa saja yang diajarkan oleh gurunya. Yang dapat diterima akalnya ialah bahwa yang asal itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu buka air, dan bukan sesuatu anasir yang dapat diamati oleh panca indra. Menurut Anaximander, segala sesuatu itu berasal dari to apeiron yaitu yang tak terbatas.[4]
Anaximander mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan sendirinya. Anaximander mengatakan itu udara. Udara merupakan sumber segala  kehidupan, demikian alasannya. Pembicaraan ketiga filosof  ini saja telah memperlihatkan bahwa didalam filsafat dapat terdapat lebih dari satu kebenaran tentang satu persoalan. Sebabnya ialah bukti kebenaran teori dalam filsafat terletak pada logis atau tidaknya argumen yang digunakan, bukan terletak pada kongklusi (kesimpulan).[5]
Anaximander dikenal sebagai sosok yang memiliki rasa keingintahuan ilmiah yang besar (the big curiosity). Ia konon adalah orang pertama yang membuat peta. Ia berpendapat bahwa bumi berbentuk silinder. Ia acapkali mengatakan bahwa matahari sama besarnya dengan bumi, atau dua puluh tujuh kali atau dua puluh delapan kali sama besarnya. Sama seperti Thales, Anaximander juga dikenal sebagai seorang “filsuf alam”.[6]

C.     Heraclitus (535-475 SM)
Ia dilahirkan di Ephesos dari suatu keluarga yang tergolong aristrokat. Ia mempunyai watak tidak mengenal kompromi, dan sangat ekstrim dalam menentang demokrasi. Dia sangat bebas mengemukakan pendapatnya, terutama dalam hal mencela orang lain, bahkan tidak segan-segan menghina orang-orang terkemuka yang dijunjung tinggi oleh banyak orang, seperti: Humeros, Arkhilokhes, Hesiodos, Pythagoras, Xenophanes, Hekataios, dan lain-lain.
Oleh sebab itu tidak heran kalau ia tidak mau menerima pendapat filosof-filosof sebelumnya, dan karena itu mempunyai pandangan sendiri dalam filsafat. Menurutnya tidak ada satupun di alam ini yang bersifat tetap atau permanen: Apa yang kelihatan tetap, sebenarnya dalam keadaan proses perubahan yang tidak ada henti-hentinya.[7]
Heraclitos juga terpengaruh oleh alam pikir filosof alam di Melitos. Pokok pikiran filsafatnya yang sangat terkenal berkaitan dengan alam semesta adalah segala sesuatu berasal dari Api. Api berubah terus, api adalah suatu hal yang chaotis. Filsafat Heraclitus juga disebut filsafat menjadi.[8] 
Paham relativisme semakin mempunyai dasar setelah Heraclitus (544-484 SM) menyatakan, “You can not step twice into the same river; for the fresh waters are ever flowing upon you” (Engkau tidak akan terjun ke sungai yang sama dua kali karena air sungai itu selalu mengalir).
Menurut Heraclitus alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti bahwa bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari bahwa kosmos itu dinamis. Kosmos tidak pernah dalam keadaan berhenti (diam), ia selalu bergerak, dan bergerak berarti berubah. Gerak itu menghasilkan perlawanan-perlawanan. Itulah sebabnya ia sampai pada kongklusi bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahan (stuff)-nya seperti yang dipertanyakan oleh filosof pertama itu, melainkan prosesnya.
Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pertanyaan yang sederhana. Implikasi pertanyaan ini amat hebat. Pernyataan itu mengandung pengertian bahwa kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Pengertian adil hari ini belum tentu masih benar besok. Hari ini 2x2=4, besok bisa saja bukan empat. Pandangan ini merupakan warna dasar sofisme.[9]

D.    Parmanides (540-475 SM)
Ia lahir pada tahun 540 SM tetapi kapan meninggalnya tidak jelas. Ia terkenal sebagai seorang yang besar. Ia ahli politik dan pernah memangku jabatan pemerintah. Tetapi bukan karena itu ia terkenal namanya, ia terkenal sebagai ahli pikir yang melebihi siapa saja pada masanya. Filsafatnya: yang realitas dalam alam ini hanya satu, tidak bergerak, tidak berubah.
Dasar pemikirannya; yang ada itu ada, mustahil tidak ada. Perubahan itu berpindah dari ada menjadi tidak ada, itu mustahil, sebagaimana mustahilnya yang tidak ada menjadi ada.[10]
Parmanides adalah seorang tokoh relativisme yang penting, kalau bukan yang terpenting. Parmanides yang lahir pada kira-kira tahun 450 SM dikatakan sebagai logikawan pertama dalam sejarah filsafat, bahkan dapat disebut sebagai filosof pertama dalam pengertian modern. Sistemnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi logis, tidak seperti Heraclitus, misalnya yang menggunakan metode intuisi. Ternyata plato amat menghargai metode Parmanides itu, dan plato lebih banyak mengambil dari Parmanides dibandingkan dengan dari filosof lain pendahulunya.
Dalam the way of truth Parmaides bertanya: Apa standar kebenaran dan apa ukuran realitas ? Bagaimana hal ini dapat dipahami ? ia menjawab: Ukurannya ialah logika yang konsisten. Perhatikanlah contoh berikut. Ada tiga cara berfikir tentang Tuhan:
1.      Ada
2.      Tidak ada
3.      Ada dan tidak ada
Yang benar adalah ada (1). Tidak mungkin meyakini yang tidak ada (2) sebagi ada karena yang tidak ada pastilah tidak ada. Yang ketiga pun tidak mungkin karena tidak mungkin Tuhan itu ada dan sekaligus tidak ada.[11]
Jadi, benar tidaknya suatu pendapat diukur dengan logika. Disinilah masalah muncul. Bentuk ekstrem pernyataan itu ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia, ukuran kebenaran adalah manusia.
E.     Empedocles (490-435 SM)
Empedocles Lahir di Akragos, pulau sicilia. Dia  adalah seorang politikus mahir yang mengaku dirinya sebagai dewa, pada tahun 440 SM dia telah menjadi seorang besar dan ahli pidato yang pintar memikat hati pendengarnya. Dia menganut faham cara pemerintahan Demokratis, akan tetapi pada akhir karir politiknya, dia digulingkan oleh kaum Aristokrat yang berhasil menyusun kekuatan.
Di negerinya ia dipuja orang sebagai nabi dan seorang yang memiliki mukjizat. Konon dia dapat mengendalikan badai dan menghidupkan kembali mayat yang sudah mati, dan akhirnya ia meninggal dunia dengan melmparkan diri kebawah gunung Etna untuk membuktikan bahwa dia benar-benar seorang dewa. Negeri asalnya ialah Acragas di pantai Selatan Pulau Sicily.[12]
Empedocles sependapat dengan Parmenides, bahwa alam semesta didalamnya tidak ada hal yang dilahirkan secara baru, dan tidak ada hal yang hilang. Ia tidak setuju dengan konsep ruang kosong, akan tetapi ia mempertahankan adanya pluralitas dan perubahan dari hasil pengamatan indera. Realitas tersusun oleh empat unsur, yaitu api, udara, tanah, dan air.
Kemudian, empat unsur tersebut digabungkan dengan unsur yang berlawanan. Sehingga penggabungan dari unsur-unsur yang berlawanan tersebut akan menghasilkan suatu benda dengan kekuatan yang sama, tidak berubah, dan walaupun dengan komposisi yang berbeda.
Terdapat dua unsur yang mengatur perubahan-perubahan dialam semesta ini yaitu cinta dan benci. Cinta mengatur kearah penggabungan, benci mengatur kearah perceraian atau perubahan. Kedua unsur tersebut dapat meresap kemana saja. Proses penggabungan dan perceraian ini terjadi secara terus menerus, tiada henti-hentinya.[13]
Dengan demikian, dengan kejadian dialam semesta unsur cinta dan benci selalu menyertainya. Juga, proses penggabungan dan perceraian tersebut berlaku untuk melahirkan makhluk-makhluk hidup. Sedangkan manusiapun disamping terdiri dari empat unsur (api, udara, tanah, dan air) juga mengenal akan keempat unsur tersebut. Hal ini disebabkan karena teori pengenalan yang dikemukakan Empedocles bahwa yang sama mengenal yang sama.

F.      Democritos (460-370 SM)
Ia lahir di kota Abdera di pesisir Thrake di Yunani Utara. Karena ia berasal dari keluarga yang kaya raya, maka dengan kekayaannya itu ia bepergian ke Mesir dan negeri-negeri Timur lainnya. Dari karya-karyanya ia telah mewariskan sebanyak 70 karangan tentang bermacam-macam masalah, seperti kosmologi, matematika, astronomi, logika, etika, tehnik, musik, puisi, dan lain-lainnya. Sehingga ia dipandang sebagai seorang sarjana yang menguasai banyak bidang.
Pemikirannya, bahwa realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan jumlahnya tak terhingga. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian materi yang sangat kecil, sehingga indra kita tidak mampu untuk mengamatinya, dan tidak dapat dibagi lagi. Unsur-unsur itu dikatakan sebagai atom yang berasal dari satu dari yang lain karena tiga hal: bentuknya, urutannya, dan posisinya. Atom-atom ini tidak dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan, tidak berubah, dan tidak berkualitas.
Menurut pendapatnya, atom-atom itu selalu bergerak, berarti harus ada ruang kosong. Sebab satu atom hanya dapat bergerak dan menduduki satu tempat saja. Sehingga Democritos berpendapat bahwa realitas itu ada dua, yaitu atom itu sendiri (yang penuh) dan ruang tempat atom bergerak (yang kosong).[14]

G.    Sofisme
Pada periode Yunani Klasik ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatanya itu ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang mengawali periode Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Penamaan aliran sofisme ini berasal dari kata sophos yang artinya cerdik pandai. Keberadaan sofisme ini dengan keahliannya dalam bidang-bidang bahasa, politik, retorika, dan terutama memaparkan tentang kosmos dan kehidupan manusia dimasyarakat sehingga keberadaan Sofisme ini dapat membawa perubahan budaya dan peradaban Athena.
Antara kaum Sofis dengan Socrates mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Karena disamping mereka itu hidup sezaman juga pokok permasalahan pemikiran mereka juga sama, yaitu permasalahan Socrates bukan lagi jagat raya, melainkan manusia (Socrates telah memindahkan filsafat dari langit kebumi), sedangkan kaum Sofis juga memusatkan perhatian pemikirannya kepada manusia. Bahkan Aristophanes menyebutkan bahwa sesungguhnya Socrates adalah termasuk kaum sofis. Perbedaan antara kaum Sofis dengan Socrates adalah bahwa pemikiran filsafat Socrates sebagai suatu reaksi dan kritik terhadap pemikiran kaum Sofis.
Sofisme bukan merupakan suatu aliran atau ajaran, akan tetapi lebih merupakan suatu gerakan dalam bidang intelektual yang disebabkan oleh pengaruh kepesatan minat orang terhadap filsafat.
Istilah sofis yang berasal dari kata sophistes mempunyai pengertian seorang sarjana atau cendekiawan. Dikemudian hari sebutan sofis mempunyai pengertian yang kurang baik, karena sofis diartikan sebagai orang-orang yang pekerjaannya menipu dengan omongan besar, dengan memakai alasan-alasan yang dibuatnya, sehingga orang yang menjadi korbannya menjadi yakin apa yang dikatakan si sofis. Para sofis tersebut pekerjaannya berkeliling kota untuk memberikan ajarannya dengan imbalan jasa atau uang.
Ada tiga faktor yang yang mendorong timbulnya kaum sofis,yaitu: pertama, perkembangan secara pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi. Kedua, setelah kota Athena mengalami keramaian penduduknya yang bertempat tinggal, maka kebutuhan dalam bidang pendidikan tidak terelakkan lagi, karena desakan kaum intelektual. Ketiga, karena bangsa Yunani pemukiman perkotaanya biasanya terletak di pantai, maka kontak dan pergaulan dengan bangsa lain tidak dapat dihindari lagi.[15]


 IV.            PENUTUP

a.       Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan para pemikir pada masa Pra Socrates. Bahwa masa itu ada beberapa pemikir filsafat kuno yang meliputi Thales (625-545 SM), Anaximandros (640-546 SM), Herakleitos (535-475 SM), Parmenides (540-475 SM), Empedocles (490-435 SM), Democritos (460-370 SM), dan Sofisme. Dari satu filsof dengan filsof lainnya ternyata memiliki pandangan yang berbeda-beda dengan arche (asas pertama alam semesta).
Dalam firman Allah Q.S. Ali-Imran: 191 dijelaskan bahwa ayat ini mengajak kita untuk selalu berfikir tentang segala ciptaan Allah SWT secara rasional dengan menggunakan akal fikiran kita yang sudah diberi Allah dengan sebaik-baiknya. Sebagai motivasi contohlah pemikiran-pemikiran filsof secara rasional dan janganlah kita terkalahkan dengan pemikiran-pemikiran filsof-filsof zaman kuno dengan adanya dan semakin berkembangnya teknologi yang semakin modern ini.

b.      Saran
Demikian makalah yang kami susun. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, penulis membutuhkan sumbangsih kritik maupun saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah keilmuan an pengetahuan kita. Amin...






DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maksum, Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Praja, Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, Bandung: Yayasan Piara.
Prof. Dr. H. Suhar AM, M.Ag., Filsafat Umum Konsepsi Sjarah dan Aliran, Jakarta: Gaung Persada Press.
Tafsir, Ahmad,  Filsafat Umun, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.






[1] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010), hlm.31.
[2] Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umun, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.41.
[3] Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hlm. 50.
[4] Ibid, hlm.51-52.
[5]Dr. Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm.41.
[6] Ali Maksum, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm. 46. 

[7] Dr. Juhaya S. Praja, Op.Cit., hlm.56.
[8] Ali Maksum, Op.Cit., hlm. 52.
[9]Dr. Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm.41-42.
[10] Dr. Juhaya S. Praja, Op.Cit., hlm.57.
[11]Ibid, hlm.42.
[12] Prof. Dr. H. Suhar AM, M.Ag., Filsafat Umum Konsepsi Sjarah dan Aliran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm.82.
[13]Drs. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1997), hlm.39-40.
[14]Ibid, hlm.42.

[15]Ibid, hlm.43-44.