Pages

Minggu, 04 Mei 2014

ILLAT DALAM QIYAS

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah: Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Ahmad Taqwim




Disusun Oleh :
Siti Jamiatun    (134111007)


Fakultas Ushuluddin
Institute Agama Islam Negeri Walisongo
Semarang
2014


       I.            Pendahuluan
Diantara hal-hal yang perlu diperhatikan bahwa sebagian ulama ushul menjadikan sebab dan illat itu sebagai sesuatu yang sama dan bermakna sama. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak sependapat. Mereka berpendapat bahwa masing-masing dari illat dan sebab itu memiliki tanda atas suatu hukum, masing-masing menjadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasarkan ada dan tidak ada.
Bagi pembuat hukum, masing-masing memilki hikmah dalam mengikat suatu hukum dan menjadikannya sebagai dasar hukum. Akan tetapi jika hubungan dalam ikatan hukum itu mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut illat dan sebab. Dan jika tidak mampu ditangkap oleh akal kita maka disebut sebab saja, tidak disebut illat. Semua illat adalah sebab dan tidak semua sebab adalah illat.

    II.            Rumusan Masalah
1.      Bagaimana illat dalam qiyas?
2.      Apa pengertian illat, syarat-syarat, dan pembagianya ?
3.      Bagaimana cara mengetahui illat ?
4.      Apa saja contoh-contoh illat dalam qiyas?

 III.            Pembahasan
  1. Illat dalam Qiyas
Qiyas menurut ulama’ Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kejadian, dan telah diketahui illat hukum itu dengan metode diantara metode-metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian terdapat nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu, maka kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu, sehingga kejadian lain itu harus disamakan  dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukumnya dengan dasar menyamakan dua kejadian tersebut dalam illatnya karena hukum itu dapat ditemukan ketika telah ditemukan illatnya.[1]
  1. Definisi Illat[2]
Secara etimologi ‘lllat berarti nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan keberadaannya. Secara terminology ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama, antara lain:
ا لعلة هي ا لو صف ا للظا هر ا لمنضبط ا لد ى جعل منا ط ا لحكم ينا سبه
Illat adalah satu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser yang dijadikan pergantungan sesuatu hukum yang ada munasabah antaranya dengan hukum itu.
Asy-Syaitibi, menuliskan pengertian illat sebagai berikut: Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya. Mayoritas ulama’ Hanafiyah, sebagian ulama’ hanabilah dan Imam Baidhawi, mendefinisikan illat dengan:
ا لو صف المعر ف الحكم
Suatu sifat (yang berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum.
Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat dengan:
المؤ ثر في الحكم بجعله تعا لى لا با لد ا ت
Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya, melainkan atas perbuatan syari’. ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl  yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya. [3]
Illat adalah sifat dalam hukum Ashal yang dijadikan dasar hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang, seperti “memabukkan” adalah sifat yang terdapat pada khomar yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui wujudnya keharaman dalam setiap arak yang memabukkan. “Penganiayaan ” adalah sifat yang terdapat pada penjualan seseorang atas penjualan seseorang yang lain yang dijadikan dasar atas keharamannya.
Dan dengan itu diketahui wujud keharaman dalam sewa menyewanya seseorang atas sewa menyewa orang lain. Inilah yang dimaksud oleh Ulama’ Ushul dalam pendapatnya: IIIat adalah yang membatasi (mendefinisikan) hukum dan illat itu disebut hubungan hukum, sebabnya dan tandanya.
  1. Syarat-syarat Illat yang telah disepakati ada empat, yaitu:[4]
  1. Hendaknya ia merupakan sifat yang nyata, yakni bersifat material yang bisa dijangkau oleh panca indra yang lahir. Karena Illat adalah yang membatasi hukum pada cabang maka oleh karena itu harus terdiri dari hal yang nyata dan yang bisa terjangkau oleh rasa pada Ashal dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang.
  2. Hendaknya ia merupakan sifat yang pasti, yakni tertentu dan terbatas,  dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi, atau karena terdapat sedikit perbedaan. Karena, asas Qiyas adalah bersamaan cabang dan ashal pada illat hukum ashal. Kesamaan ini mengharuskan adanya illat sebagai yang pasti dan terbatas, sehingga dapat menjatuhkan hukum bahwa, dua kejadian itu sama illatnya, seperti pembunuhan secara sengaja menganiaya oleh fihak ahli waris kepada yang mewariskan.
  3. Hendaknya merupakan sifat yang  sesuai, yakni terdiri dari tempat dugaan mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum dengan sifat itu dalam ada dan tidaknya harus diwujudkan apa yang menjadi tujuan pembuat hukum dalam membentuk hukum dari segi menarik keuntungan atau menghindari bahaya, Karena yang memotifitir secara hakiki, dan tujuan utama  dalam pembentukan hukum, adalah  hikmahnya. Jadi, seandainya hikmah semua hukum itu nyata dan pasti, niscaya hukmah itu adalah illat-illat hukum, karena ia adalah yang memotifitir pembentuknya.
Akan tetapi karena tidak nyata dan tidak pasti hikmah itu pada sebagian hukum, maka berdirilah sebagai gantinya, sifat-sifat yang nyata dan pasti yang sesuai dan pantas dengan hikmah itu, dan tidaklah populer  menjadikan sifat-sifat ini sebagai illat hukum, tidak pula ditempatkan pada fungsi hukumnya kecuali hanya oleh karena itu menjadi tempat dugaan bagi hikmah-hikmah ini. Maka apabila tidak pantas dan tidak sesuai , tidak patut menjadi illat hukum.
Jadi, “memabokkan” adalah hal yang sesuai bagi keharaman khamar, karena didalam keharamannya  terkandung pemeliharaan akal. Pembunuhan dengan sengaja menganiaya adalah sesuai bagi keharusan qishas, karena dalam qishas itu terkandung pemeliharaan terhadap kehidupan manusia. Mencuri adalah sesuai bagi kehidupan potong tangan pencuri laki-laki atau perempuan, karena dalam potong tangan itu terkandung pemeliharaan kekayaan manusia.
  1. Hendaknya tidak merupakan sifat yang terbatas pada Ashal, artinya harus sifat yang dapat diwujudkan pada beberapa individu dan bisa didapati pada selain ashal. Karena tujuan yang dimaksudkan dalam pemberian illat hukum Ashal, adalah jangkauannya hukum Ashal itu sendiri pada cabang, maka seandainya hukum itu diberi illat dengan illat yang tidak didapati pada selain Ashal, tidak dapat dijadikan sebagai asas Qiyas.
Karena itu, ketika hukum-hukum yang menjadi kekhususan Rasulullah Saw itu diillati bagi pribadi Rasul, maka tidak sah dilakukan Qiyas padanya. Jadi, juga tidak sah memberi illat keharaman khomar dengan lantaran ia itu perasan anggur yang dijadikan khomar. Begitu pula tidak sah memberi illat keharaman riba pada harta benda ribawi enam jenis baik itu emas maupun perak.
  1. Pembagian Illat[5]
Pembagian illat dari segi ada dan tidaknya menurut syara, telah di jelaskan pada bab syarat-syarat  illat yaitu bahwa tidak setiap sifat pada Ashal patut menjadi illat bagi hukumnya. Juga tidak sah memberi illat dengan sifat kecuali apabila sifat itu nyata, pasti, dan sesuai. Dari segi bahwa syari’ telah mengangap sifat itu sesuai atau tidak, maka ulama’ Ushul telah membagi sifat yang sesuai pada empat bagian, yaitu:
1.      Sesuai dan berpengaruh (Al-Munasib al-Mu’tsir)
Yaitu sifat yang sesuai oleh syari’ telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma. Sifat tersebut telah ditetapkan sebagai hukum. Penyusunan hukum itu atas dasar penyesuaian terhadap sifat tersebut, seperti firman Allah: Q.S. Al-Baqarah: 222.
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ
Artinya:
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid."          (al-Baqarah:222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.

2.      Sesuai dan sepadan (Al-Munasib al-Mulaa’im)
Yaitu sifat yang sesuai, yang oleh syari’ telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan nash atau ijma belum menetapkannya sebagai illat hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengannya. Namun, ditetapkan oleh nash atau ijma sebagai illat hukum dari jenis hukum yang telah disusun atas dasar sesuai dengan sifat itu, atau menganggap jenis sifat sebagai illat hukum dari jenis hukum ini. Maka,  bila sifat yang sesuai itu dengan salah satu diantara tiga macam pengambilan anggapan, dijadikan anggapan, maka pemberian illat dengan sifat itu mencocoki beberapa tujuan syari’ dalam membentuk hukum dan memberi illat kepadanya, karena itu disebut Al-Munasib al-Mulaa’im, artinya sesuai dengan tujuan syari’ dan telah disepakati kebenaran illat dengan sifat, atau membentuk Qiyas atau dasar itu.
3.      Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib al-Mursal)
Yaitu sifat yang oleh syari’ tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula terdapat dalil syara’ yang menunjukkan pengakuannnya dengan macam pengakuan apa saja, atau menyia-nyiakan pengakuannya bahwa sifat itu munasib, artinya dapat mewujudkan maslahah, namun ia mursal, artinya terlepas dari dalil pengakuan, dan dalil pembatalan (Ilgha'). Inilah yang dalam istilah ulama’ Ushul disebut Al-Munasib al-Mursalah.
4.      Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib al-Mulgha)
Yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum kepadanya adalah mewujudkan kemaslahatan. Sedang syari’ tidak menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan syari’, dengan dalil apa saja, telah menunjukkan atas pembatalan pengakuannya, seperti bersamaan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal kekerabatan karena kesamaannya dalam hal harta pustaka.
  1. Cara Mengetahui Illat
a.       Melalui nash, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah saw. Adakalanya illat yang terdapat dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya illat itu jelas, tetapi mengandung kemungkinan yang lain.
b.      Melalui ijma’. Dengan ijma’ diketahui sifat tertentu yang terdapat dalam hukum syara’ yang menjadi illat hukum.
c.       Melalui al-ima wa at-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lafal.
d.      Melalui as-sibr wa at-taqsim. Sibr adalah penelitian terdapat dalam suatu hukum dan apakah sifat tersebut layak untuk dijadikan illat hukum atau tidak. Kemudian mujtahid mengambil salah satu sifat yang menurutnya paling tepat dijadikan illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Sedangkan taqsim adalah upaya mujtahid dalam membatasi illat pada suatu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh nash.
e.       Melalui munasabah yaitu sifat nyata yang terdapat pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, merupakan tujuan yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian terhadap suatu kemaslahatan atau penolakan terhadap kemadharatan.
f.       Mencari illat melalui tanqih al-manath yaitu upaya seorang mujtahid dalam menentukan illat dari berbagai sifat yang dijadikan illat oleh syar’I dalam berbagai hukum.
g.      At-Thard yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian abntara keduanya.
h.      Asy-Syabah yaitu sifat yang mempunyai keserupaan.
i.        Dauran yaitu suatu keadaan dimana ditemukan hukum apabila bertemu sifat dan tidak terdapat hukum ketika sifat tidak ditemukan
j.        Ilgha Al-Fariq adalah terdapat titik perbedaan antara sifat dengan hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal hanya kesamaannya.

F.      Contoh Illat
1.      Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dilarang pula. Menurut hukum agama, dasarnya ialah tiap-tiap minuman yang memabukkan adalah dilarang, dan sesuatu yang apabila dimakan dalam jumlah yang banyak mengakibatkan mabuk, maka dalam jumlah sedikit pun termasuk haram. Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dilarang pula.[6]
2.      Mengqoshor sholat empat rakaat (menjadi dua rakaat) bagi seorang musafir. Illatnya adalah pergi itu sendiri.
3.      Diperbolehkannya jual beli secara barter hikmahnya adalah menghilangkan kesulitan umat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Illatnya adalah bentuk ucapan akad jual beli atau sewa menyewa.
4.      Seseorang yang pada bulan Ramadhan sedang bepergian maka diperbolehkan berbuka karena ada illat diperbolehkan, yaitu bepergian, meskipun pada kepergiannya tidak ada kesulitan.
5.      Seseorang yang menjadi sekutu kepemilikan sebidang tanah yang dijual, atau menjadi tetangga maka ia berhak mengambil tanah itu dengan syuf’ah (menutup harga), karena ada illat lebih berhak menutup harga yaitu sekutu atau tetangga.
6.      Seorang idiot yang telah mencapai usia 21 tahun tetapi ada alasan lain yang menunjukkan bahwa dia belum dewasa maka kekuasaan (bertasharruf) tidak jatuh ketetangganya, meskipun ada illat yaitu telah sampai batas menjadi seorang yang berkuasa yakni sampai usia dewasa.[7]
7.      Seorang hakim tidak boleh menghakimi perkara diantara dua orang sementara ia dalam keadaan marah.[8]
8.      Orang gila tidak dibolehkan melakukan tindakan hukum karena kecakapan bertindak hukum itu disebut illat. Apabila ia sembuh dari penyakit gilanya, maka illatnyapun hilang dan kecakapan bertindak hukumnya berlaku kembali.[9]
9.      Perintah meninggalkan jual beli ketika diseru untuk menunaikan shalat jum’at, diikuti dengan perintah bertebaran dimuka bumi dan mencari rizqi Allah, termasuk jual beli setelah shalat jum’at selesai. Illat larangan tersebut karena menggangu shalat jum’at.[10]
10.  Larangan menjual kurma basah dengan kurma kering karena terjadi penyusutan kurma basah. Illatnya adalah terjadinya penyusutan.
11.  Kewajiban menjauhkan diri dari wanita pada waktu haid, telah di jelaskan bahwa haid itu kotoran. Illat  hukumnya adalah kotoran.[11]
12.  Larangan seorang pembunuh untuk mendapatkan warisan dari terbunuh. Jelas bahwa dia adalah pembunuh. Illatnya adalah pembunuhan.[12]


 IV.            Penutup
  1. Kesimpulan
Apabila nash dalam Al-Qur’an dan Hadits sudah menunjukkan bahwa illat hukumnya adalah sifat itu, maka sifat itu menjadi illat dengan nash disebut juga illat yang ditetapkan oleh nash. Adapun kias dengan dasar sifat itu pada hakekatnya adalah menerapkan nash. Petunjuk nash bahwa sifat itu menjadi illat kadang-kadang jelas dan kadang-kadang hanya isyarat dan tidak jelas.
  1. Saran
Demikian makalah yang kami susun.Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, penulis membutuhkan sumbangsih kritik maupun saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah keilmuan an pengetahuan kita. Amin...











Daftar Pustaka
Abdul Ghofur Anshori,  Hukum Islam Dinamika dan Perkembangan di Indonesia, Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Al-Qardhawi, Yusuf, Fatwa Qardhawi Permasalahan Pemecahan dan Hikmah,Surabaya: Penerbit Risalah Gusti.
Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih,Penerbit: AMZAH.

Khallaf, Abdul Wahhab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,Yogyakarta: CV.Rajawali.
Khallaf, Abdul Wahhab,Ilmu Ushul Fikih ,Jakarta: Pustaka Amani.




[1]Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam,(Yogyakarta: CV.Rajawali,1988), hlm.76.
[2]Ibid., hlm.95.
[3]Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih,(Penerbit: AMZAH, 2005), hlm. 120-121.

[4]Ibid., hlm.102-105.
[5]Ibid., hlm.105-112.
[6]Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fatwa Qardhawi permasalahan pemecahan dan hikmah, (Surabaya: Penerbit Risalah Gusti, 1989), hlm. 380.
[7]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm. 82-85.
[8] Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., Hukum Islam Dinamika dan Perkembangan di Indonesia, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), hlm, 178.
[9] Drs. Totok Jumantoro, M.A. dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag., op.cit, hlm.127.
[10]Ibid, hlm. 178.
[11]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 92.
[12]Prof. Dr. Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 92.

0 komentar:

Posting Komentar