Thales, Anaximandros, Herakleitos,
Parmenides, Empedocles, Demokritos, Sofisme
Di Susun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Umum
Dosen Pengampu: Tsuwaibah, M. Ag
Di Susun Oleh:
Siti Jamiatun (134111007)
FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Periode Yunani Kuno ini lazim disebut periode
filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya
para ahli pikir alam. Dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang
diamati di sekitarnya. Mereka membuat pernyataan-pernyataan tentang gejala alam
yang bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada
mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya
mutlak, yang berada dibelakang segala sesuatu yang serba berubah.
Setelah pada abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir
yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tentang misteri
alam semesta ini jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang
demikian ini sebagai suatu demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran
untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.
Upaya para ahli pikir untuk mengarahkan pada suatu kebebasan berpikir ini
menyebabkan banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi
kekuatan akal pikir secara murni.[1]
Ciri umum filsafat Yunani ialah rasionalisme.
Rasionalisme Yunani itu mencapai puncaknya pada orang-orang sofis. Untuk
melihat rasionalisme sofis perlu dipahami lebih dulu latar belakangnya. Latar
belakang itu terletak pada pemikiran filsafat yang ada sebelumnya.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai pemikiran atau ajaran para tokoh filsafat Yunani pada masa Pra
Socrates. Diantaranya meliputi: Thales (625-545 SM), Anaximandros (640-546 SM),
Herakleitos (535-475 SM), Parmenides (540-475 SM), Empedocles (490-435 SM), Democritos
(460-370 SM), dan Sofisme.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Siapa
saja tokoh filsuf Yunani pada asa Pra Socrates ?
2. Bagaimana
pemikiran para tokoh filsuf Yunani pada masa Pra Socrates tentang arche (asal
mula segala sesuatu)?
III.
PEMBAHASAN
A. Thales
(625-545 SM)
Thales
(624-546 SM), orang miletus itu, digelari Bapak Filsafat karena dialah orang
yang mula-mula berfilsafat. Gelar itu diberikan karena ia mengajukan pertanyaan
yang amat mendasar, yang jarang diperhatikan orang, juga orang zaman sekarang:
What is the nature of the world stuff ? Apa sebenarnya bahan alam semesta ini ?
Tak pelak lagi, pertanyaan ini amat mendasar.
Terlepas
dari apapun jawabannya, pertanyaan ini saja telah dapat mengangkat namanya
menjadi filosof pertama. Ia sendiri menjawab air. Jawaban ini sebenarnya amat
sangat sederhana dan belum tuntas. Belum
tuntas karena dari apa air itu ? Thales mengambil air sebagai asal alam semesta
barang kali karena ia melihatnya sebagai sesuatu yang amat diperlukan dalam
kehidupan, dan menurut pendapatnya bumi ini terapung diatas air.
Lihatlah,
jawabannya amat sederhana, pertanyaannya jauh lebih berbobot ketimbang jawabannya. Masih adakah orang yang
beranggapan bahwa bertanya itu tidak penting ? Thales menjadi filosof karena ia
bertanya. Pertanyaan itu dijawabnya dengan menggunakan akal, bukan menggunakan
agama atau kepercayaan lainnya. Alasannya ialah karena air penting bagi
kehidupan. Disini akal mulai digunakan, lepas dari keyakinan.[2]
Menurut
cerita, Thales adalah seorang saudagar
yang sering berlayar ke negeri Mesir. Ia menemukan ilmu ukur dari Mesir
dan membawanya ke Yunani. Diceritakan pula bahwa ia memiliki ilmu tentang
bagaimana mengukur tinggi piramid-piramid dari bayangannya; bagaimana mengukur
jauhnya kapal dari laut dari sebuah pantai; ia juga mempunyai teori tentang
banjir tahunan sungai Nil di Mesir. Bahkan ia juga berhasil meramalkan
terjadinya gerhana matahari pada tanggal 28 Mei tahun 585 SM. Karena itulah ia
dikenal sebagai ahli astronomi dan metafisika.
Hal
ini merupakan bukti bahwa perkembangan ilmiah nampaknya mulai menggantikan
peranan mitos-mitos yang berkembang pada masa itu. Thales tidak menuliskan ajaran-ajaran
filsafatnya. Aristhoteleslah yang merupakan sumber utama ajaran Thales. Dalam
traktatnya mengenai metafisika, Aristoteles menyatakan bahwa Thales adalah
orang yang pertama kali memikirkan tentang asal mula (asal/prinsip) terjadinya
alam semesta ini.[3]
B. Anaximander
(640-546 SM)
Anaximander
adalah murid Thales. Ia lima belas tahun lebih muda dari Thales, tetapi
meninggal dua tahun lebih dahulu. Sebagai filosof, ia lebih besar dari gurunya.
Ia juga ahli astronomi, disamping itu ia juga ahli ilmu bumi. Sama halnya
dengan gurunya, Anaximander juga ingin mencari asal dari segalanya. Ia tidak
menerima apa saja yang diajarkan oleh gurunya. Yang dapat diterima akalnya
ialah bahwa yang asal itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu buka air,
dan bukan sesuatu anasir yang dapat diamati oleh panca indra. Menurut
Anaximander, segala sesuatu itu berasal dari to apeiron yaitu yang tak
terbatas.[4]
Anaximander
mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal dan ada dengan
sendirinya. Anaximander mengatakan itu udara. Udara merupakan sumber
segala kehidupan, demikian alasannya.
Pembicaraan ketiga filosof ini saja
telah memperlihatkan bahwa didalam filsafat dapat terdapat lebih dari satu
kebenaran tentang satu persoalan. Sebabnya ialah bukti kebenaran teori dalam
filsafat terletak pada logis atau tidaknya argumen yang digunakan, bukan
terletak pada kongklusi (kesimpulan).[5]
Anaximander
dikenal sebagai sosok yang memiliki rasa keingintahuan ilmiah yang besar (the
big curiosity). Ia konon adalah orang pertama yang membuat peta. Ia
berpendapat bahwa bumi berbentuk silinder. Ia acapkali mengatakan bahwa
matahari sama besarnya dengan bumi, atau dua puluh tujuh kali atau dua puluh
delapan kali sama besarnya. Sama seperti Thales, Anaximander juga dikenal
sebagai seorang “filsuf alam”.[6]
C. Heraclitus
(535-475 SM)
Ia
dilahirkan di Ephesos dari suatu keluarga yang tergolong aristrokat. Ia
mempunyai watak tidak mengenal kompromi, dan sangat ekstrim dalam menentang
demokrasi. Dia sangat bebas mengemukakan pendapatnya, terutama dalam hal
mencela orang lain, bahkan tidak segan-segan menghina orang-orang terkemuka
yang dijunjung tinggi oleh banyak orang, seperti: Humeros, Arkhilokhes,
Hesiodos, Pythagoras, Xenophanes, Hekataios, dan lain-lain.
Oleh
sebab itu tidak heran kalau ia tidak mau menerima pendapat filosof-filosof
sebelumnya, dan karena itu mempunyai pandangan sendiri dalam filsafat.
Menurutnya tidak ada satupun di alam ini yang bersifat tetap atau permanen: Apa
yang kelihatan tetap, sebenarnya dalam keadaan proses perubahan yang tidak ada
henti-hentinya.[7]
Heraclitos
juga terpengaruh oleh alam pikir filosof alam di Melitos. Pokok pikiran
filsafatnya yang sangat terkenal berkaitan dengan alam semesta adalah segala
sesuatu berasal dari Api. Api berubah terus, api adalah suatu hal yang chaotis.
Filsafat Heraclitus juga disebut filsafat menjadi.[8]
Paham
relativisme semakin mempunyai dasar setelah Heraclitus (544-484 SM) menyatakan,
“You can not step twice into the same river; for the fresh waters are ever
flowing upon you” (Engkau tidak akan terjun ke sungai yang sama dua kali karena
air sungai itu selalu mengalir).
Menurut
Heraclitus alam semesta ini selalu dalam keadaan berubah; sesuatu yang dingin
berubah menjadi panas, yang panas berubah menjadi dingin. Itu berarti bahwa
bila kita hendak memahami kehidupan kosmos, kita mesti menyadari bahwa kosmos
itu dinamis. Kosmos tidak pernah dalam keadaan berhenti (diam), ia selalu
bergerak, dan bergerak berarti berubah. Gerak itu menghasilkan
perlawanan-perlawanan. Itulah sebabnya ia sampai pada kongklusi bahwa yang
mendasar dalam alam semesta ini bukanlah bahan (stuff)-nya seperti yang dipertanyakan
oleh filosof pertama itu, melainkan prosesnya.
Pernyataan
“semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pertanyaan yang sederhana.
Implikasi pertanyaan ini amat hebat. Pernyataan itu mengandung pengertian bahwa
kebenaran selalu berubah, tidak tetap. Pengertian adil hari ini belum tentu
masih benar besok. Hari ini 2x2=4, besok bisa saja bukan empat. Pandangan ini
merupakan warna dasar sofisme.[9]
D. Parmanides
(540-475 SM)
Ia
lahir pada tahun 540 SM tetapi kapan meninggalnya tidak jelas. Ia terkenal
sebagai seorang yang besar. Ia ahli politik dan pernah memangku jabatan
pemerintah. Tetapi bukan karena itu ia terkenal namanya, ia terkenal sebagai
ahli pikir yang melebihi siapa saja pada masanya. Filsafatnya: yang realitas
dalam alam ini hanya satu, tidak bergerak, tidak berubah.
Dasar
pemikirannya; yang ada itu ada, mustahil tidak ada. Perubahan itu berpindah
dari ada menjadi tidak ada, itu mustahil, sebagaimana mustahilnya yang tidak
ada menjadi ada.[10]
Parmanides
adalah seorang tokoh relativisme yang penting, kalau bukan yang terpenting.
Parmanides yang lahir pada kira-kira tahun 450 SM dikatakan sebagai logikawan
pertama dalam sejarah filsafat, bahkan dapat disebut sebagai filosof pertama
dalam pengertian modern. Sistemnya secara keseluruhan disandarkan pada deduksi
logis, tidak seperti Heraclitus, misalnya yang menggunakan metode intuisi. Ternyata
plato amat menghargai metode Parmanides itu, dan plato lebih banyak mengambil
dari Parmanides dibandingkan dengan dari filosof lain pendahulunya.
Dalam
the way of truth Parmaides bertanya:
Apa standar kebenaran dan apa ukuran realitas ? Bagaimana hal ini dapat
dipahami ? ia menjawab: Ukurannya ialah logika yang konsisten. Perhatikanlah
contoh berikut. Ada tiga cara berfikir tentang Tuhan:
1. Ada
2. Tidak
ada
3. Ada
dan tidak ada
Yang benar adalah ada (1). Tidak mungkin
meyakini yang tidak ada (2) sebagi ada karena yang tidak ada pastilah tidak
ada. Yang ketiga pun tidak mungkin karena tidak mungkin Tuhan itu ada dan
sekaligus tidak ada.[11]
Jadi, benar tidaknya suatu pendapat
diukur dengan logika. Disinilah masalah muncul. Bentuk ekstrem pernyataan itu
ialah bahwa ukuran kebenaran adalah akal manusia, ukuran kebenaran adalah
manusia.
E. Empedocles
(490-435 SM)
Empedocles
Lahir di Akragos, pulau sicilia. Dia adalah seorang politikus mahir yang mengaku
dirinya sebagai dewa, pada tahun 440 SM dia telah menjadi seorang besar dan
ahli pidato yang pintar memikat hati pendengarnya. Dia menganut faham cara
pemerintahan Demokratis, akan tetapi pada akhir karir politiknya, dia
digulingkan oleh kaum Aristokrat yang berhasil menyusun kekuatan.
Di
negerinya ia dipuja orang sebagai nabi dan seorang yang memiliki mukjizat.
Konon dia dapat mengendalikan badai dan menghidupkan kembali mayat yang sudah
mati, dan akhirnya ia meninggal dunia dengan melmparkan diri kebawah gunung
Etna untuk membuktikan bahwa dia benar-benar seorang dewa. Negeri asalnya ialah
Acragas di pantai Selatan Pulau Sicily.[12]
Empedocles
sependapat dengan Parmenides, bahwa alam semesta didalamnya tidak ada hal yang
dilahirkan secara baru, dan tidak ada hal yang hilang. Ia tidak setuju dengan
konsep ruang kosong, akan tetapi ia mempertahankan adanya pluralitas dan
perubahan dari hasil pengamatan indera. Realitas tersusun oleh empat unsur, yaitu
api, udara, tanah, dan air.
Kemudian,
empat unsur tersebut digabungkan dengan unsur yang berlawanan. Sehingga
penggabungan dari unsur-unsur yang berlawanan tersebut akan menghasilkan suatu
benda dengan kekuatan yang sama, tidak berubah, dan walaupun dengan komposisi
yang berbeda.
Terdapat
dua unsur yang mengatur perubahan-perubahan dialam semesta ini yaitu cinta dan
benci. Cinta mengatur kearah penggabungan, benci mengatur kearah perceraian
atau perubahan. Kedua unsur tersebut dapat meresap kemana saja. Proses
penggabungan dan perceraian ini terjadi secara terus menerus, tiada
henti-hentinya.[13]
Dengan
demikian, dengan kejadian dialam semesta unsur cinta dan benci selalu
menyertainya. Juga, proses penggabungan dan perceraian tersebut berlaku untuk
melahirkan makhluk-makhluk hidup. Sedangkan manusiapun disamping terdiri dari
empat unsur (api, udara, tanah, dan air) juga mengenal akan keempat unsur
tersebut. Hal ini disebabkan karena teori pengenalan yang dikemukakan
Empedocles bahwa yang sama mengenal yang sama.
F. Democritos
(460-370 SM)
Ia
lahir di kota Abdera di pesisir Thrake di Yunani Utara. Karena ia berasal dari
keluarga yang kaya raya, maka dengan kekayaannya itu ia bepergian ke Mesir dan
negeri-negeri Timur lainnya. Dari karya-karyanya ia telah mewariskan sebanyak
70 karangan tentang bermacam-macam masalah, seperti kosmologi, matematika,
astronomi, logika, etika, tehnik, musik, puisi, dan lain-lainnya. Sehingga ia
dipandang sebagai seorang sarjana yang menguasai banyak bidang.
Pemikirannya,
bahwa realitas bukanlah satu, tetapi terdiri dari banyak unsur, dan jumlahnya
tak terhingga. Unsur-unsur tersebut merupakan bagian materi yang sangat kecil,
sehingga indra kita tidak mampu untuk mengamatinya, dan tidak dapat dibagi
lagi. Unsur-unsur itu dikatakan sebagai atom yang berasal dari satu dari yang
lain karena tiga hal: bentuknya, urutannya, dan posisinya. Atom-atom ini tidak
dijadikan dan tidak dapat dimusnahkan, tidak berubah, dan tidak berkualitas.
Menurut
pendapatnya, atom-atom itu selalu bergerak, berarti harus ada ruang kosong.
Sebab satu atom hanya dapat bergerak dan menduduki satu tempat saja. Sehingga
Democritos berpendapat bahwa realitas itu ada dua, yaitu atom itu sendiri (yang
penuh) dan ruang tempat atom bergerak (yang kosong).[14]
G. Sofisme
Pada periode Yunani Klasik ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatanya itu ditandainya semakin besar minat orang terhadap
filsafat. Aliran yang
mengawali periode Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Penamaan
aliran
sofisme
ini
berasal
dari kata sophos yang artinya
cerdik
pandai. Keberadaan
sofisme
ini
dengan
keahliannya
dalam
bidang-bidang
bahasa, politik, retorika,
dan terutama
memaparkan
tentang
kosmos
dan
kehidupan
manusia
dimasyarakat
sehingga
keberadaan
Sofisme
ini
dapat
membawa
perubahan
budaya
dan
peradaban Athena.
Antara kaum Sofis dengan Socrates mempunyai
hubungan yang sangat
erat
sekali. Karena
disamping
mereka
itu
hidup
sezaman
juga
pokok
permasalahan
pemikiran
mereka
juga
sama, yaitu
permasalahan Socrates bukan
lagi
jagat
raya, melainkan
manusia (Socrates telah
memindahkan
filsafat
dari
langit
kebumi), sedangkan
kaum
Sofis
juga
memusatkan
perhatian
pemikirannya
kepada
manusia. Bahkan Aristophanes
menyebutkan bahwa sesungguhnya Socrates adalah
termasuk
kaum
sofis. Perbedaan
antara
kaum
Sofis
dengan Socrates adalah
bahwa
pemikiran filsafat Socrates sebagai
suatu
reaksi
dan
kritik
terhadap
pemikiran
kaum
Sofis.
Sofisme bukan merupakan suatu aliran atau ajaran, akan tetapi lebih merupakan suatu gerakan dalam bidang intelektual yang disebabkan
oleh
pengaruh
kepesatan
minat orang terhadap
filsafat.
Istilah
sofis yang berasal dari kata sophistes mempunyai pengertian seorang sarjana
atau cendekiawan. Dikemudian hari sebutan sofis mempunyai pengertian yang
kurang baik, karena sofis diartikan sebagai orang-orang yang pekerjaannya
menipu dengan omongan besar, dengan memakai alasan-alasan yang dibuatnya,
sehingga orang yang menjadi korbannya menjadi yakin apa yang dikatakan si
sofis. Para sofis tersebut pekerjaannya berkeliling kota untuk memberikan
ajarannya dengan imbalan jasa atau uang.
Ada
tiga faktor yang yang mendorong timbulnya kaum sofis,yaitu: pertama,
perkembangan secara pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi. Kedua,
setelah kota Athena mengalami keramaian penduduknya yang bertempat tinggal,
maka kebutuhan dalam bidang pendidikan tidak terelakkan lagi, karena desakan
kaum intelektual. Ketiga, karena bangsa Yunani pemukiman perkotaanya biasanya
terletak di pantai, maka kontak dan pergaulan dengan bangsa lain tidak dapat dihindari
lagi.[15]
IV.
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari
penjelasan-penjelasan diatas, kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan para
pemikir pada masa Pra Socrates. Bahwa masa itu ada beberapa pemikir filsafat
kuno yang meliputi Thales (625-545 SM), Anaximandros (640-546 SM), Herakleitos
(535-475 SM), Parmenides (540-475 SM), Empedocles (490-435 SM), Democritos
(460-370 SM), dan Sofisme. Dari satu filsof dengan filsof lainnya ternyata
memiliki pandangan yang berbeda-beda dengan arche (asas pertama alam semesta).
Dalam
firman Allah Q.S. Ali-Imran: 191 dijelaskan bahwa ayat ini mengajak kita untuk selalu
berfikir tentang segala ciptaan Allah SWT secara rasional dengan menggunakan akal
fikiran kita yang sudah diberi Allah dengan sebaik-baiknya. Sebagai motivasi contohlah
pemikiran-pemikiran filsof secara rasional dan janganlah kita terkalahkan dengan
pemikiran-pemikiran filsof-filsof zaman kuno dengan adanya dan semakin berkembangnya
teknologi yang semakin modern ini.
b. Saran
Demikian makalah yang kami susun. Kami menyadari dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan oleh karena itu, penulis membutuhkan sumbangsih
kritik maupun saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga
makalah ini bermanfaat dan menambah keilmuan an pengetahuan kita. Amin...
DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi, Asmoro, Filsafat Umum, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Achmadi, Asmoro, Filsafat
Umum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maksum,
Ali, Pengantar Filsafat, Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Praja,
Juhaya S., Aliran-Aliran Filsafat dan
Etika, Bandung: Yayasan Piara.
Prof.
Dr. H. Suhar AM, M.Ag., Filsafat Umum
Konsepsi Sjarah dan Aliran, Jakarta: Gaung Persada Press.
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umun, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
[1] Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2010), hlm.31.
[2] Dr.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umun,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1990), hlm.41.
[3] Dr.
Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat
dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara, 1997), hlm. 50.
[4] Ibid, hlm.51-52.
[5]Dr. Ahmad
Tafsir, Op.Cit., hlm.41.
[7] Dr.
Juhaya S. Praja, Op.Cit., hlm.56.
[9]Dr.
Ahmad Tafsir, Op.Cit., hlm.41-42.
[10] Dr.
Juhaya S. Praja, Op.Cit., hlm.57.
[11]Ibid, hlm.42.
[12] Prof.
Dr. H. Suhar AM, M.Ag., Filsafat Umum
Konsepsi Sjarah dan Aliran, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), hlm.82.
[13]Drs. Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,1997), hlm.39-40.
[14]Ibid, hlm.42.
[15]Ibid,
hlm.43-44.
0 komentar:
Posting Komentar